Entri Populer

Senin, 26 Maret 2012

Oleh: Jusman Dalle

Alkisah, suatu hari Timur Lenk menghadiahi Nasrudin Hoja seekor keledai. Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata, “Ajari keledai itu membaca. Dalam dua pekan, datanglah kembali ke mari, dan kita lihat hasilnya.” Nasrudin berlalu. 

Waktu yang dijanjikan, ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku itu, dan membuka sampulnya. 

Si keledai menatap buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu si keledai menatap Nasrudin. 

“Demikianlah,” kata Nasrudin, “Keledaiku sudah bisa membaca.” 

Timur Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca?” Nasrudin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar.”

“Tapi,” tukas Timur Lenk tidak puas, “bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?” Nasrudin menjawab:

“Memang demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai, bukan?”

Kisah Nasrudin, Keledai dan Timur Lenk tersebut mengilustrasikan urgensi menyeruput makna atau bahkan mencipta realita baru dari setiap buku yang kita baca. Seperti pengandaian Nasrudin, membaca tanpa bekas tak ubahnya keledai dalam cerita ini. 

Membaca sangat erat kaitannya dengan jalinan ilmu pengetahuan, pemikiran dan kontinuitas peradaban serta tak bisa dilepaskan dari peran buku. Sebagai dokumentasi mozaik pencerahan yang tercecar, buku menjadi sumber rujukan utama. Buku, adalah titik tolak merajut imajinasi menjadi masa depan. Pada berbagai bangsa dalam lintasan sejarah, buku menempati peran organik.

Bangsa Yunani misalnya, keluar dari halusinasi mitologi menuju babak realitas-pencerahan “logos” atau ilmu pengetahuan setelah para filusuf di negeri yang kala itu belum menjadi pusat peradaban mulai mendokumentasikan pemikiran-pemikiran mereka ke dalam lembaran-lembaran. 

Manuskrip ilmu pengetahuan, pemikiran dan hasil penelitian dari lembaran-lembaran ini bertransformasi ke generasi selanjutnya untuk dikembangkan sehingga lahirlah ilmuwan, filusuf yang hingga kini masih menjadi rujukan seperti Socrates, Plato maupun Aristoteles. Pencerahan mereka bisa kita lacak karena adanya buku.

Peradaban Islam

Dalam khazanah peradaban Islam sebagaimana ditulis oleh Dr Mustafa Siba’i (1915), sederet nama cendikiawan muslim juga menjadi rujukan di timur dan di barat karena karya intelektual mereka berupa buku. 

Sebutlah misalnya Ibnu Sina dengan kitab (buku) Al Qanuun dan AR Razi dengan buku Al Hawiy yang lebih tebal dari Al Qanuun. Keduanya kemudian menjadi rujukan ilmu kedokteran modern setelah pada abad XII diterjemahkan di Eropa. 

Integritas para ilmuwan Islam diakui langsung oleh orang-orang barat. Gustave Le Bon, seorang psikolog sosial, sosiolog, dan juga fisikawan amatir dari Perancis mengatakan bahwa terjemahan buku bangsa-bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku sains, menjadi sumber satu-satunya bagi banyak pengajaran di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima hingga enam abad.

Bahkan Le Bon mengatakan bahwa buku-buku karya ulama Islam dijadikan sandaran oleh Roger Bacon (seorang filsuf Inggris), Leonardo Da Vinci (pelukis dan pematung kenamaan Italia), Arnold de Philippe, Raymond Lull, San Thomas, Albertus Magnus, Alfonso X, dan lain-lain.

Kemajuan bangsa Jepang dengan produk teknologi yang mendunia juga berawal dari kebangkitan literasi yang diformulasi dalam Restorasi Meiji. Jepang sebelum Restorasi Meiji (1868) adalah Negara agraris yang miskin. Akan tetapi, dalam waktu 40 tahun saja, pada akhir abad 19, Jepang mampu mensejajarkan diri dengan Negara-negara Barat berkat dorongan dari kaisar untuk menggalakkan spektrum ilmu pengetahuan, mulai dari budaya riset, membaca hingga menulis. 

Buku menjadi mercusuar yang mampu melintasi ragam kondisi sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan.  Relevan dengan firman Allah SWT di dalam Alquran surat ke 58 ayat 11. “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. 

Ayat ini, menegasikan relasi kuat antara ilmu pengetahuan dengan buku sebagai sumbernya. Sebagaimana juga ditegaskan pada ayat pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW, “iqra” atau perintah membaca.

Buku telah mengeluarkan bangsa-bangsa dari mitologi menuju logos atau ilmu pengetahuan. Dan oleh pengetahuan itulah kita bisa menjadi bangsa kuat. Sebagaimana tamsil Francis Bacon (1561-1626), scientia est potentia, ilmu pengetahuan adalah kekuatan, atau ketinggian derajat-kemuliaan menurut bahasa Al Qur’an.

Penulis, pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)