Oleh: Jusman Dalle
Alkisah,
suatu hari Timur Lenk menghadiahi Nasrudin Hoja seekor keledai.
Nasrudin menerimanya dengan senang hati. Tetapi Timur Lenk berkata,
“Ajari keledai itu membaca. Dalam dua pekan, datanglah kembali ke mari,
dan kita lihat hasilnya.” Nasrudin berlalu.
Waktu
yang dijanjikan, ia kembali ke istana. Tanpa banyak bicara, Timur Lenk
menunjuk ke sebuah buku besar. Nasrudin menggiring keledainya ke buku
itu, dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap
buku itu, dan tak lama mulai membalik halamannya dengan lidahnya. Terus
menerus, dibaliknya setiap halaman sampai ke halaman akhir. Setelah itu
si keledai menatap Nasrudin.
“Demikianlah,” kata Nasrudin, “Keledaiku sudah bisa membaca.”
Timur
Lenk mulai menginterogasi, “Bagaimana caramu mengajari dia membaca?”
Nasrudin berkisah, “Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran
besar mirip buku, dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya. Keledai
itu harus belajar membalik-balik halam untuk bisa makan biji-biji
gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku
dengan benar.”
“Tapi,” tukas Timur Lenk tidak puas, “bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?” Nasrudin menjawab:
“Memang
demikianlah cara keledai membaca: hanya membalik-balik halaman tanpa
mengerti isinya. Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya,
kita disebut setolol keledai, bukan?”
Kisah
Nasrudin, Keledai dan Timur Lenk tersebut mengilustrasikan urgensi
menyeruput makna atau bahkan mencipta realita baru dari setiap buku yang
kita baca. Seperti pengandaian Nasrudin, membaca tanpa bekas tak
ubahnya keledai dalam cerita ini.
Membaca
sangat erat kaitannya dengan jalinan ilmu pengetahuan, pemikiran dan
kontinuitas peradaban serta tak bisa dilepaskan dari peran buku. Sebagai
dokumentasi mozaik pencerahan yang tercecar, buku menjadi sumber
rujukan utama. Buku, adalah titik tolak merajut imajinasi menjadi masa
depan. Pada berbagai bangsa dalam lintasan sejarah, buku menempati peran
organik.
Bangsa Yunani misalnya, keluar dari
halusinasi mitologi menuju babak realitas-pencerahan “logos” atau ilmu
pengetahuan setelah para filusuf di negeri yang kala itu belum menjadi
pusat peradaban mulai mendokumentasikan pemikiran-pemikiran mereka ke
dalam lembaran-lembaran.
Manuskrip ilmu
pengetahuan, pemikiran dan hasil penelitian dari lembaran-lembaran ini
bertransformasi ke generasi selanjutnya untuk dikembangkan sehingga
lahirlah ilmuwan, filusuf yang hingga kini masih menjadi rujukan seperti
Socrates, Plato maupun Aristoteles. Pencerahan mereka bisa kita lacak
karena adanya buku.
Peradaban Islam
Dalam
khazanah peradaban Islam sebagaimana ditulis oleh Dr Mustafa Siba’i
(1915), sederet nama cendikiawan muslim juga menjadi rujukan di timur
dan di barat karena karya intelektual mereka berupa buku.
Sebutlah
misalnya Ibnu Sina dengan kitab (buku) Al Qanuun dan AR Razi dengan
buku Al Hawiy yang lebih tebal dari Al Qanuun. Keduanya kemudian menjadi
rujukan ilmu kedokteran modern setelah pada abad XII diterjemahkan di
Eropa.
Integritas para ilmuwan Islam diakui
langsung oleh orang-orang barat. Gustave Le Bon, seorang psikolog
sosial, sosiolog, dan juga fisikawan amatir dari Perancis mengatakan
bahwa terjemahan buku bangsa-bangsa Arab (Islam), terutama buku-buku
sains, menjadi sumber satu-satunya bagi banyak pengajaran di banyak
perguruan tinggi Eropa selama lima hingga enam abad.
Bahkan
Le Bon mengatakan bahwa buku-buku karya ulama Islam dijadikan sandaran
oleh Roger Bacon (seorang filsuf Inggris), Leonardo Da Vinci (pelukis
dan pematung kenamaan Italia), Arnold de Philippe, Raymond Lull, San
Thomas, Albertus Magnus, Alfonso X, dan lain-lain.
Kemajuan
bangsa Jepang dengan produk teknologi yang mendunia juga berawal dari
kebangkitan literasi yang diformulasi dalam Restorasi Meiji. Jepang
sebelum Restorasi Meiji (1868) adalah Negara agraris yang miskin. Akan
tetapi, dalam waktu 40 tahun saja, pada akhir abad 19, Jepang mampu
mensejajarkan diri dengan Negara-negara Barat berkat dorongan dari
kaisar untuk menggalakkan spektrum ilmu pengetahuan, mulai dari budaya
riset, membaca hingga menulis.
Buku menjadi
mercusuar yang mampu melintasi ragam kondisi sosial, ekonomi, politik
dan kebudayaan. Relevan dengan firman Allah SWT di dalam Alquran surat
ke 58 ayat 11. “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat”.
Ayat ini, menegasikan relasi kuat
antara ilmu pengetahuan dengan buku sebagai sumbernya. Sebagaimana juga
ditegaskan pada ayat pertama kali diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW,
“iqra” atau perintah membaca.
Buku telah
mengeluarkan bangsa-bangsa dari mitologi menuju logos atau ilmu
pengetahuan. Dan oleh pengetahuan itulah kita bisa menjadi bangsa kuat.
Sebagaimana tamsil Francis Bacon (1561-1626), scientia est potentia,
ilmu pengetahuan adalah kekuatan, atau ketinggian derajat-kemuliaan
menurut bahasa Al Qur’an.
Penulis, pengurus Pusat Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)